Kamis, 20 September 2007

Ramadhan Nabi dan Para Sahabatnya

"Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup pada bulan Ramadhan tetapi tidak sampai terampuni dosa-dosanya.." Rasulullah menaiki mimbar (untuk berkhutbah), menginjak anak tangga pertama beliau mengucapkan "aamin", begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Seusai shalat para sahabat bertanya, mengapa Rasulullah mengucapkan 'aamin? Lalu beliau menjawab, malaikat Jibril datang dan berkata: Kecewa dan merugi seseorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucapkan shalawat atasmu, lalu aku berucap aamin. Kemudian malaikat berkata lagi, kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orang tuanya tetapi dia tidak sampai bisa masuk surga, lalu aku mengucapkan aamin. Kemudian katanya lagi, kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup pada bulan Ramadhan tetapi tidak sampai terampuni dosa-dosanya, lalu aku mengucapkan aamin. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Ramadhan adalah nama salah satu bulan dari dua belas bulan Hijriyah, sama dengan Jum'at yang merupakan nama hari dari tujuh hari yang terus berputar. Tidak ada perbedaan antara hari Jum'at dengan hari Senin, demikian juga tidak ada bedanya antara Ramadhan dengan bulan lainnya. Secara fisik, semua bulan dan hari itu sama saja. Perbedaannya sesungguhnya terletak pada pemaknaan atasnya. Pemaknaan itu bisa terkait dengan momentum sejarah, bisa juga karena secara sengaja telah ditetapkan oleh Sang Pencipta hari dan bulan untuk memuliakannya. Ramadhan telah memenuhi kedua alasan di atas, selain disengaja oleh Allah untuk disucikan dan dimuliakan, di dalamnya terdapat juga berbagai peristiwa sejarah yang sangat monumental. Sejarah itu tidak saja terjadi pada Rasulullah Salallaahu 'alaihi wa sallam, tapi juga terjadi pada masa-masa kenabian jauh sebelumnya. Dalam beberapa hadits dan keterangan yang lain disebutkan semua kitab suci diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan. Nabi Ibrahim 'Alaihis salaam menerima kitab pada hari pertama atau ketiga pada bulan Ramadhan. Nabi Daud As juga menerima kitab Zabur pada hari kedua belas atau delapan belas bulan yang sama. Demikian juga nabi Musa As dan Isa As, masing masing telah menerima kitab Taurat dan Injil pada bulan Ramadhan. Nabi Muhammad Saw, sebagai nabi pamungkas menerima kitab al-Qur'an pada tanggal 17 bulan Ramadhan. Adalah desain dari "atas", jika semua kitab suci diturunkan pada bulan Ramadhan. Kesengajaan itu semata-mata ditujukan untuk mensucikan dan memuliakannya. Memang ada empat bulan lainnya yang dimuliakan Allah, tapi Ramadhan tetap menempati urutan teratas. Bukan hanya karena momentumnya, tapi terlebih karena Allah Swt menjanjikan berbagai bonus dan diskon istimewa. Karena alasan itulah, jauh sebelum bulan Ramadhan tiba, Rasulullah saw telah menyambutnya. Sejak bulan Sya'ban, Rasulullah menganjurkan ummatnya agar mempersiapkan diri menyambut kedatangan "tamu mulia" ini, yaitu dengan memperbanyak ibadah, terutama ibadah shaum. Yang belum terbiasa shaum pada hari Senin dan Kamis, diharapkan pada bulan Sya'ban sudah mulai menjalankannya. Jika belum mampu, cukup dengan tiga hari di tengah bulan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mempersiapkan mental sekaligus fisik untuk menghadapi bulan yang disucikan tersebut. Bulan Sya'ban adalah bulan persiapan. Seorang Muslim yang akan memasuki arena Ramadhan hendaknya mempersiapkan segala sesuatunya. Dalam dirinya sudah terbayang suasana indah Ramadhan tersebut. Suasana itu tergambar dalam hatinya dan terukir dalam benak fikirannya. Kehadirannya dirindukan dan dinanti-nantikan. Ibarat orang dipenjara yang selalu menghitung hari pembebasannya, maka setiap hati sangatlah berarti. Begitulah gambaran seorang Muslim, terutama para sahabat Nabi di masa yang lalu. Saat-saat menanti Ramadhan, para sahabat tak bedanya seperti calon pengantin yang merindukan hari-hari pernikahannya. Jauh hari sebelum hari "H" nya, mereka sudah memikirkan hal-hal yang sekecil-kecilnya. Mereka berfikir, gaun apa yang akan dipakai pada saat yang penting itu, apa yang diucapkannya, sampai bagaimana cara jalannya dan menata senyumnya. Begitulah gambaran seorang Muslim yang merindukan datangnya Ramadhan. Tiada seorangpun di antara kaum Muslimin yang bersedih hati ketika menghadapi Ramadhan. Sebaliknya mereka bersuka cita dan bergembira, menyambutnya dengan penuh antusias dan semangat yang menyala-nyala. Merupakan tradisi di masa Rasulullah, pada saat akhir bulan Sya'ban para sahabat berkumpul di masjid untuk mendengar khutbah penyambutan Ramadhan. Saat itu dimanfaatkan oleh kaum Muslimin untuk saling meminta maaf di antara mereka. Seorang sahabat kepada sahabatnya, seorang anak kepada orang tuanya, seorang adik kepada kakaknya, dan seterusnya. Mereka ingin memasuki bulan Ramadhan dengan tanpa beban dosa. Mereka ingin berada dalam suasana ramadhan yang disucikan itu dalam keadaan suci dan bersih. Kebiasaan Rasulullah dan para sahabatnya ini perlu dihidupkan lagi tanpa harus mengubah tradisi yang sudah ada dan eksis sampai saat ini. Biarlah hari raya 'Idul Fitri tetap dalam tradisinya, tapi pada akhir bulan Sya'ban perlu ditradisikan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan Nabi, yaitu dengan memperbanyak silaturrahim, saling meminta maaf, dan bertahniah, selain menyambutnya dengan ceramah yang dikhususkan untuk itu. Tahniah, saling mengucapkan "selamat" adalah kebiasaan baik yang ditadisikan Rasulullah. Mestinya ummat Islam lebih serius mengirim kartu Ramadhan daripada kartu lebaran. Diperlukan kepeloporan dari kita semua untuk memulai tradisi baru dalam menyambut Ramadhan sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Kita perlu sedikit kreatif untuk memulainya. Ide-ide baru juga perlu dimunculkan untuk menggagas kegairahan ummat dalam menyambut bulan suci tersebut. Perlu ada energi khusus untuk mengalihkan pusat perhatian ummat yang hanya tertuju pada hari raya kepada bulan Ramadhan. Ini bukan pekerjaan ringan, karena kebiasaan yang ada saat ini sudah mendarah mendaging. Tidaklah salah bila seseorang berziarah kubur saat menjelang Ramadhan, sebagaimana berziarah kubur di hari-hari yang lain. Hanya saja tradisi itu perlu diluruskan dengan memberi pemahaman kepada mereka tentang tata cara berziarah kubur, dan terutama tujuannya. Jangan sampai mereka salah niat dan tujuannya. Jangan pula salah tata caranya. Ini penting karena menyangkut "Aqidah". Perlu juga dipahamkan, mengapa mereka lebih menyukai berziarah kepada orang yang sudah mati, sedangkan kepada orang yang masih hidup mereka enggan untuk menziarahinya. Padahal yang masih hidup itu bisa jadi adalah orang tua mereka sendiri, paman-bibi, saudara-saudara, dan handai tolannya sendiri. Menziarahi kubur orang yang sudah mati itu baik, tapi menziarahi orang yang masih hidup jauh lebih dianjurkan lagi. Tujuan berziarah kubur untuk mengingatkan kita akan kematian. Sedangkan tujuan berziarah kepada orang yang masih hidup adalah untuk menyambung silaturrahim, yang intinya adalah untuk menjaga kalangsungan hidup itu sendiri. Dianjurkan kepada kaum Muslimin untuk mengunjungi kaum kerabat, terutama orang tua untuk mengucapkan tahniah, memohon maaf, dan meminta nasehat menjelang ramadhan. Jika jaraknya jauh, bisa ditempuh melalui telepon, surat pos, atau dengan cara-cara lain yang memungkinkan pesan itu sampai ke tujuan. Adalah baik jika kebiasaan itu dikemas secara kreatif, misalnya dengan mengirimkan kartu ramadhan yang berisi tiga hal di atas. Adapun tentang ceramah yang diselenggarakan khusus untuk menyambut ramadhan, Rasulullah telah memberikan contohnya. Pada saat itu sangat tepat jika disampaikan tentang segala hal yang berkait langsung dengan Ramadhan. Mulai dari janji-janji Allah terhadap mereka yang bersungguh-sungguh menjalani ibadah Ramadhan, amalan-amalan yang harus dan sunnah dikerjakan selama ramadhan, sampai tentang tata cara menjalankan seluruh rangkain ibadah tersebut. Berikut ini adalah contoh khutbah Rasulullah dalam menyambut Ramadhan: "Wahai ummatku, akan datang kepadamu bulan yang mulia, bulan penuh berkah, yang pada malam itu ada malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Itulah malam dimana Tuhan memberi perintah bahwa kewajiban puasa harus dilakukan di siang hari; dan Dia menciptakan shalat khusus (tarawih) di malam hari. Barang siapa yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan kebaikan-kebaikan pada bulan ini maka dia akan mendapatkan ganjaran seperti jika dia menunaikan suatu ibadah di bulan-bulan lain pada tahun itu. Dan barangsiapa yang menunaikan suatu ibadah kepada Allah, maka dia akan mendapatkan tujuh puluh kali lipat ganjaran orang yang melakukan ibadah di bulan bulan lain pada tahun itu. Sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan kesabaran, dan pahala kesabaran yang sejati adalah surga. Inilah bulan yang penuh simpati terhadap sesama manusia; ini juga merupakan bulan di mana rizqi seseorang ditambah. Barangsiapa memberi makan orang lain untuk berbuka puasa, maka dia akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan dijauhkan dari api neraka, dan dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang diberinya makan untuk berbuka puasa, tanpa mengurangi pahala orang tersebut sedikitpun. Kami (para sahabat) bertanya, wahai Rasulullah, tak semua orang di antara kami mempunyai cukup persediaan untuk memberi makan orang lain yang berpuasa. Rasulullah Saw menjawab, Allah memberikan pahala yang sama bagi orang yang memberi orang lain yang sedang berpuasa sebuah kurma dan segelas air minum atau seteguk susu untuk mengakhiri puasanya. Inilah bulan yang bagian awalnya membawa keberkahan dari Allah Swt, bagian tengahnya membawa ampunan Allah, dan bagian akhirnya menjauhkan dari api neraka. Barangsiapa yang meringankan beban seseorang di bulan ini, maka Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka. Dan pada bulan ini ada empat perkara yang harus kalian lakukan dalam jumlah besar, dua di antaranya adalah berbakti kepada Allah, sedang dua lainnya adalah hal-hal yang tanpa itu kamu tidak akan berhasil. Berbakti kepada Allah adalah membaca syahadat yang berarti kamu bersaksi akan keesaan Allah. La ilaaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah) dan memohon ampunan Allah atas kesalahan-kesalahan yang kalian lakukan. Sedangkan dua hal lainnya yang tanpa itu kalian tak akan berhasil adalah kalian harus memohon kepada Allah untuk dapat masuk surga dan memohon kepada-Nya untuk dijauhkan dari api neraka. Dan barangsiapa yang memberi minum kepada orang yang berpuasa, maka Allah akan memberinya minum dari sumber airku, air yang jika diminum tak akan pernah membuatnya haus hingga pada hari dia memasuki surga."
Ramadhan dan 11 Bulan Sesudahnya dijelaskan oleh Rasulullah saw sebagai syahrul azhim mubarak, yakni bulan yang sangat agung dan berlimpah keberkahan serta kebaikan. Bulan yang pada sepuluh hari pertamanya tercurah rahmat, sepuluh hari keduanya berlimpah maghfirah (ampunan) dan sepuluh hari terakhirnya pembebasan dari api neraka. Masih banyak lagi keutamaan yang menghampar di bulan Ramadhan. Tapi semua itu tidak mungkin bisa diraih tanpa ada persiapan-persiapan yang serius. Di sinilah peran para dai, ustadz, ulama dan lembaga-lembaga Islam sangat dibutuhkan untuk menggencarkan tau'iyah Ramadhan, yakni penyuluhan dan penyadaran kepada masyarakat tentang Ramadhan dengan segala keutamaannya serta bagaimana menyikapi dan mengisinya. Kampanye penyadaran dan pembekalan itu harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum memasuki Ramadhan, agar nantinya ketika masuk pada bulan Ramadhan masyarakat mengerti betul bagaimana mengisi Ramadhan dengan kesadaran yang tinggi, sehingga ibadah mereka optimal. Begitu pentingnya pembekalan ini sehingga para sahabat Rasulullah yang keimanannya sudah mantap, masih saja diberi taujihat (pengarahan-pengarahan) oleh beliau ketika akan memasuki Ramadhan. Bekal Utama Secara pribadi, setiap muslim wajib membekali dirinya dengan persiapan optimal yang berkaitan dengan ibadah Ramadhan agar secara internal siap memasuki Ramadhan. Ada dua persiapan penting yang harus dilakukan dalam rangka tau'iyah Ramadhan, yakni mempersiapkan pribadi setiap muslim (i'dadun nafsi) mempersiapan bi'ah (lingkungan) yang kondusif. Persiapan pribadi itu terdiri dari lima hal. Pertama, I'dad Ruhi Imani, yakni persiapan ruh keimanan. Shalafus Shaleh biasa melakukan persiapan ini jauh hari sebelum datang Ramadhan. Bahkan mereka sudah merindukan kedatangannya sejak bulan Rajab dan Sya'ban. Ini bisa dilihat dari doa mereka, "Ya Allah berikanlah kepada kami keberkahan pada bulan Rajab dan Sya'ban, serta sampaikanlah kami kepada Ramadhan." Dalam rangka persiapan ruh keimanan itu, di surah At-Taubah Allah melarang kita melakukan berbagai maksiat dan kedzaliman sejak bulan Rajab. Tapi bukan berarti di bulan lain dibolehkan. Hal ini dimaksudkan agar sudah sejak bulan Rajab iman kita sudah meningkat. Bisa dikiaskan, bulan Rajab dan Sya'ban adalah masa pemanasan (warming up) sehingga ketika memulai start memasuki Ramadhan kita sudah bisa langsung lari kencang. Kedua, adalah I'dad Jasadi, yakni persiapan fisik. Untuk memasuki Ramadhan, secara fisik kita pun sudah harus lebih sehat dari biasanya. Sebab, jika fisik lemah, kemuliaan-kemuliaan yang dilimpahkan Allah di bulan Ramadhan pun tidak bisa optimal kita raih. Makanya, pada bulan Rajab Rasulullah dan para sahabat membiasakan diri melatih fisik dan mental dengan melakukan puasa sunnah, banyak berinteraksi dengan al-Qur'an, biasa bangun malam (qiyamul-lail) dan meningkatkan kepedulian sosial. Ketiga, adalah I'dad Maliyah, yakni persiapan harta. Jangan salah duga, persiapan harta bukan untuk membeli kebutuhan logistik buka puasa atau kue-kue lebaran sebagaimana yang menjadi tradisi kita selam ini, tapi untuk melipatgandakan shadaqah, karena Ramadhan merupakan bulan kepedulian sosial. Pahala bershadaqah pada bulan ini berlipat ganda dibanding bulan biasa. Keempat, adalah I'dad Fikri wa Ilmi, yakni persiapan fikiran dan ilmu. Agar ibadah Ramadhan bisa optimal diperlukan bekal wawasan dan tashawur (persepsi) yang benar tentang Ramadhan. Caranya dengan membaca berbagai literatur tentang Ramadhan yang bisa membimbing kita beribadah Ramadhan dengan benar sesuai tuntunan Rasulullah. Menghafal ayat-ayat dan doa'doa yang terkait dengannya, menguasai berbagai masalah dalam fiqh puasa dan lain-lain juga penting dilakukan. Selain persiapan-persiapan individual tersebut, persiapan sosial juga sangat vital dalam mewujudkan Ramadhan yang sukses, karena betapapun semangatnya para pribadi menyambut Ramadhan, tetapi kalau lingkungannya tidak mendukung, maka pribadi tersebut akan terkena imbasnya. Pengkondisian lingkungan itu harus dilakukan di mana saja. Di rumah misalnya, sebaiknya memberi semangat anak-anak dengan nasehat tentang puasa, dibelikan mukena, kain sajadah atau mushaf Al-Quran yang baru. Gambar-gambar seronok dienyahkan. Di luar rumah dipasang berbagai publikasi seperti spanduk, stiker, brosur untuk mengingatkan masyarakat tentang Ramadhan dan keutamaannya. Tak kalah pentingnya, masjid dan mushalla hendaknya ditata lebih indah, bersih dan nyaman. Sehingga, orang yang berada di dalamnya merasa betah dan tenteram. Begitu pula dengan kegiatannya harus beraneka-ragam dan berbobot. Jangan cuma tarawih dan buka puasa bersama (ifthar jama'i) saja tapi buat halaqah Qur'an, tadarus bersama, kajian tafsir dan fiqih dan lain-lain. Sebanyak-banyaknya masyarakat harus bisa tersedot ke dalam warna Islami agar terbiasa juga hidup Islami di luar bulan Ramadhan. Puasa yang Sukses Ibadah Ramadhan yang sukses adalah yang dapat berhasil meraih ketaqwaan dan bisa mempertahankannya untuk selama sebelas bulan berikutnya. Untuk mencapai kesuksesan ini ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, meningkatkan kualitas puasa yang tidak hanya makan dan minum tetapi juga melatih jiwa untuk bisa berfikir dan berperilaku hidup Islami. Kedua, meningkatkan interaksi dengan al-Qur'an. Inilah hikmahnya Al-Qur'an diturukan pada bulan Ramadhan agar kita bisa lebih intens membaca, memahami dan mengikuti tuntunannya. Mustahil orang akan bertaqwa kalau tidak mengkaji Al-Qur'an. Ketiga, memperhatikan aturan-aturan Allah dan tidak dilanggar agar terbentuk kedisiplinan diri untuk tidak menyeleweng dari garis ketentuan Allah.Keempat, beri'tikaf di masjid pada 10 hari terakhir yang menandakan dekatnya hubungan kita dengan Allah karena selalu berada di dalam masjid, dengan jalan dzikir, ibadah dan tafakur.·

Rabu, 19 September 2007

Mengambil Hikmah Dari Kasus Hilangnya Foto Istri Uje

Mungkin sebagian besar dari kita udah pada tahu terhadap kasus Uje (Ustadz Jefry Al Buchory) yang mengalami musibah kehilangan tas di pesawat milik Garuda beberapa hari lalu. Adapun tas tersebut banyak berisi barang berharga seperti 2 buah handphone, kartu kredit, uang dalam pecahan rupiah, dolar, riyal, dll. Namun yang paling memilukan bagi Uje katanya adalah yang hilang tersebut terdapatlah foto-foto istrinya pada masa dulu belum menggunakan jilbab!
Update: Berdasarkan konfirmasi langsung dari ukhti Pipik Uje di komentar posting ini, ternyata foto tersebut bukan berada di dalam HP atau handycam melainkan di dalam dompet Uje yg ikut hilang. Tapi oke lah walau pun agak sedikit membuat relevansi posting ini bergeser/berubah, tapi makna dan maksud tulisan blog ini tidak berubah. Trims.
Sungguh ini merupakan pelajaran berharga bagi kita yang sudah memiliki istri atau anak perempuan (yang sudah baligh) agar jangan pernah menyimpan foto tersebut dalam memori handphone atau handycam! Usahakan agar langsung disimpan ke hard disk komputer di rumah dan jangan di simpan di laptop. Karena pada prinsipnya produk handphone, handycam dan laptop adalah perangkat mobile yang dapat kadangkala secara tidak kita sadari bisa dilihat rekan/teman yang bukan muhrim serta memiliki potensi untuk mengalami kehilangan yang cukup tinggi. Sedangkan hard disk PC sifatnya menetap di rumah dan kebanyakan hanya dilihat oleh anggota keluarga saja. Kalau perlu (dan ini sendiri secara pribadi saya lakukan) jangan pernah mengambil foto mereka dalam keadaan tidak berjilbab, untuk memberi kita sebagai suami/kepala keluarga dan terutama mereka (istri/anak).
Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran sekaligus hikmah dari kasus ini. Amien.

Al-Quran

Al-Quran sesungguhnya merupakan kitab yang berisi petunjuk dasar untuk hidup di alam dunia. Dengan menggunakan petunjuk itulah, kita diminta oleh Allah SWT untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah dalam arti luas, bukan terbatas pada ruang lingkup ritual dan sakral, tetapi seluruh aplikasi kehidupan manusia sesungguhnya bagian dari ibadah. Tanpa menggunakan petunjuk itu, maka apapun yang kita niatkan sebagai ibadah akan sia-sia.
Maka selayaknya sebagai muslim, kita bukan sekedar hanya membaca Al-Quran sebagai ritus ibadah, tetapi lebih dari itu, seharusnya kita mempelajari maknanya, mendalami esensi isinya, serta pengimplementasikan perintah-perintah yang ada di dalamnya menjadi suatu tindakan yang nyata.
Al-Quran sendiri telah mengumpamakan orang yang membaca kitab namun tidak mengerjakan isinya seperti layaknya keledai yang memanggul kitab.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. Al-Jumu'ah: 5)
Maka menjadi kewajiban kita untuk mempelajari isi kitabullah, sebagaimana ciri orang yang bersifat rabbani.
Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali Imran: 79)
Perintah untuk melakukan tadabbur Al-Quran juga kita dapati sebagai sebuah keharusan sebagai seorang muslim.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quraan ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)
Sekedar Membaca pun Ibadah
Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa Al-Quran itu memang lain dari wahyu yang lain. Salah satu kelebihannya adalah bila dibaca, meski tidak dipahami maknanya, Al-Quran tetap mendatangkan pahala. Walaupun manfaatnya menjadi sangat sedikit dibandingkan bila kita paham maknanya.
Namun perintah membaca tetap ada, sehingga meski kita belum menguasai bahasa arab, tetap saja membaca Al-Quran merupakan perintah dari Allah SWT. Perintah untuk membaca Al-Quran kita temukan bertebaran di dalam Al-Quran sendiri, di antaranya ayat berikut ini:
Bacalah apa yang mudah dari Al-Qur'an.(QS. Al-Muzzammil: 20)
Selain ayat Quran juga banyak hadits nabawi yang menganjukan kita untuk membaca Al-Quran, tanpa menekankan pentingnya kita mengerti maknanya.
1. Orang yang Baca Al-Quran dengan Yang Tidak Baca Berbeda
Salah satu nash hadits secara tegas membandingkan orang yang membaca Al-Quran dengan yang tidak membaca Al-Quran.
Dari Abu Musa Al-Asy`arit berkata, Rasulullah bersabda, "Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Qur`an bagaikan buah limau baunya harum dan rasanya lezat. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur`an bagaikan kurma, rasanya lezat dan tidak berbau. Dan perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur`an bagaikan buah raihanah yang baunya harum dan rasanya pahit, dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur`an bagaikan buah hanzholah tidak berbau dan rasanya pahit." (HR Bukhari dan Muslim)
Dari hadits ini jelas sekali bahwa sekedar membaca Al-Quran atau tidak membacasudah membedakan kedudukan seseorang. Berarti ada nilai tersendiri untuk sekedar membaca Al-Quran.
2. Bersama Malaikat
Hadits ini juga sangat eksplisit menyebutkan tentang orang yang membaca Al-Quran, yaitu dijanjikan Allah akan di tempat bersama dengan para malaikat.
Dari `Aisyah Radhiyallahu `Anha berkata, Rasulullah bersabda, "Orang yang membaca Al-Qur`an dan ia mahir dalam membacanya maka ia akan dikumpulkan bersama para Malaikat yang mulia lagi berbakti. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur`an dan ia masih terbata-bata dan merasa berat (belum fasih) dalam membacanya, maka ia akan mendapat dua ganjaran." (HR Bukhari Muslim)
Semakin tegas lagi ketika lafadz hadits ini menyebutkan kasus orang yang membaca Al-Quran dengan terbata-bata yang tetap saja akan diberikan pahala. Jelas menunjukkan tentang pentingnya membaca Al-Quran.
3. Bacaan Quran adalah Syafaat
Selain itu juga kita temukan adanya dalil yang menyebutkan tentang salah satu fungsi bacaan Quran sebagai syafaat yang akan menolong kita di hari akhir nanti.
Dari Abu Umamah Al-Bahili t berkata, saya telah mendengar Rasulullah bersabda, "Bacalah Al-Qur`an!, maka sesungguhnya ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai syafaat bagi ahlinya (HR Muslim)
4. Diberi Pahala per Huruf
Dan semakin tegas lagi pentingnya membaca Al-Quran ketika Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abdullah bin Mas`ud t berkata bahwaRasulullahSAW, "Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur`an) maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan akan dilipat gandakan dengan sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan "Alif lam mim" itu satu huruf, tetapi "Alif" itu satu huruf, "Lam" itu satu huruf dan "Mim" itu satu huruf." (HR At Tirmidzi dan berkata, "Hadits hasan shahih).
Betul-betul disebutkan bahwa membaca Al-Quran itu berpahala dan pahalanya dihitung perhuruf, di mana setiap huruf akan dikalikan sepuluh kebajikan.
Semua dalil ini menunjukkan bahwa sekedar membaca Al-Quran tanpa memaham arti, juga sudah mendatangkan pahala. Namun kalau kita bandingkan dengan dalil-dalil yang lain, tentu pahalanya akan menjadi lebih berkah, lebih banyak dan lebih besar, manakala kita pun juga mengerti dan paham makna bacaan yang kita baca.

Hadits Tidurnya Orang Puasa Adalah Ibadah

Tidurnya orang berpuasa merupakan ibadah memang sudah seringkali kita dengar, baik di pengajian atau pun di berbagai kesempatan. Dan paling sering kita dengar di bulan Ramadhan.
Di antara lafadznya yang paling populer adalah demikian:
نوم الصائم عبادة وصمته تسبيح وعمله مضاعف ودعاؤه مستجاب وذنبه مغفور
Tidurnya orang puasa merupakan ibadah, diamnya merupakan tasbih, amalnya dilipat-gandakan (pahalanya), doanya dikabulkan dan dosanya diampuni.
Meski di dalam kandungan hadits ini ada beberapa
hal yang sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, seperti masalah dosa yang diampuni serta pahala yang dilipat-gandakan, namun khusus lafadz ini, para ulama sepakat mengatakan status kepalsuannya.
Adalah Al-Imam Al-Baihaqi yang menuliskan lafadz itu di dalam kitabnya, Asy-Syu'ab Al-Iman. Lalu dinukil oleh As-Suyuti di dalam kitabnya, Al-Jamiush-Shaghir, seraya menyebutkan bahwa status hadits ini dhaif (lemah).
Namun status dhaif yang diberikan oleh As-Suyuti justru dikritik oleh para muhaddits yang lain. Menurut kebanyakan mereka, status hadits ini bukan hanya dhaif teteapi sudah sampai derajat hadits maudhu' (palsu).
Hadits Palsu
Al-Imam Al-Baihaqi telah menyebutkan bahwa ungkapan ini bukan merupakan hadits nabawi.Karena di dalam jalur periwayatan hadits itu terdapat perawi yang bernama Sulaiman bin Amr An-Nakhahi, yang kedudukannya adalah pemalsu hadits.
Hal senada disampaikan oleh Al-Iraqi, yaitu bahwa Sulaiman bin Amr ini termasuk ke dalam daftar para pendusta, di mana pekerjaannya adalah pemalsu hadits.
Komentar Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga semakin menguatkan kepalsuan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa si Sulaiman bin Amr ini memang benar-benar seorang pemalsu hadits.
Bahkan lebih keras lagi adalah ungkapan Yahya bin Ma'in, beliau bukan hanya mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr ini pemasu hadits, tetapi beliau menambahkan bahwa Sulaiman ini adalah "manusia paling pendusta di muka bumi ini!"
Selanjutnya, kita juga mendengar komentar Al-Imam Al-Bukhari tentang tokoh kita yang satu ini. Belaiu mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr adalah matruk, yaitu haditsnya semi palsu lantaran dia seorang pendusta.
Saking tercelanya perawi hadits ini, sampai-sampai Yazid bin Harun mengatakan bahwa siapapun tidak halal meriwayatkan hadtis dari Sualiman bin Amr.
Iman Ibnu Hibban juga ikut mengomentari, "Sulaiman bin AmrAn-Nakha'i adalah orang Baghdad yang secara lahiriyah merupakan orang shalih, sayangnya dia memalsu hadits. Keterangan ini bisa kita dapat di dalam kitab Al-Majruhin minal muhadditsin wadhdhu'afa wal-matrukin. Juga bisa kita dapati di dalam kitab Mizanul I'tidal.
Rasanya keterangan tegas dari para ahli hadits senior tentang kepalsuan hadits ini sudah cukup lengkap, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu untuk segera membuang ungkapan ini dari dalil-dalil kita. Dan tidak benar bahwa tidurnya orang puasa itu merupakan ibadah.
Oleh karena itu, tindakan sebagian saudara kita untuk banyak-banyak tidur di tengah hari bulan Ramadhan dengan alasan bahwa tidur itu ibadah, jelas-jelas tidak ada dasarnya. Apalagi mengingat Rasulullah SAW pun tidak pernah mencontohkan untuk menghabiskan waktu siang hari untuk tidur.
Kalau pun ada istilah qailulah, maka prakteknya Rasulullah SAW hanya sejenak memejamkan mata. Dan yang namanya sejenak, paling-paling hanya sekitar 5 sampai 10 menit saja. Tidak berjam-jam sampai meninggalkan tugas dan pekerjaan
.

Ramadhan: Madrasah Pembentukan Mental

Ada yang menyatakan bahwa Ramadhan merupakan bulan pendidikan (syahr al-tarbiyyah). Tentunya ini bukan tanpa alasan. Karena secara realita, Ramadhan benar-benar edukatif. Ia dapat diibaratkan sebagai ‘madrasah’, lebih tepatnya sebagai training centre bagi qalbu-qalbu orang yang ingin menaiki “tangga-tangga ketakwaan”.
Tulisan sederhana ini akan mengulas secara sederhana, bagaimana Ramadhan membentuk mental orang-orang yang berpuasa di dalamnya. Jika ditilik dengan cermat, inti daripada puasa adalah “self control” (pengendalian diri). Artinya, Ramadhan mendidik para pelakunya menjadi orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya: nafsu perut dan nafsu syahwatnya. Lewat self control inilah puasa Ramadhan mampu membentuk beberapa mental positif.
Pertama, mental qana‘ah. Penulis berasumsi bahwa seluruh orang yang melaksanakan puasa memiliki pengalaman yang sama. Apa itu? Ketika waktu berbuka hampir tiba, nafsu makan begitu “menggebu-gebu”. Seluruh jenis makanan dan aneka ragam minuman ingin kita lahap seluruhnya. Namun apa yang terjadi? Ketika waktu buka telah tiba, yang dapat ‘diterima’ oleh perut besar (lambung) hanya satu gelas teh manis atau sirup dan satu potong roti. Lalu, ke mana ‘nafsu perut’ yang ketika sore itu begitu provokatif itu? Hilang. Sirna. Yang ada hanya rasa kenyang dan puas dengan satu gelas teh manis dan satu potong roti itu.
Artinya, puasa itu membentuk mental qana‘ah. Hiduplah apa adanya. Tidak usah terlalu memaksakan kehendak dan syahwat duniawi. Apa yang kita nikmati pada hakikatnya lebih sedikit dari apa yang kita miliki. Dan sejatinya, qana‘ah itulah yang disebut oleh Baginda Rasul SAW sebagai “kekayaan” tak akan pernah habis.
Kedua, mental muraqabah. Apa maksudnya? Orang yang berpuasa, selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Inilah yang dikenal dengan sistem “waskat” (pengawasan melekat). Orang yang berpuasa benar-benar memiliki strong self-control. Allah selalu hadir di mana dan kapan saja. Logikanya, ketika seseorang – yang sedang berpuasa – mengambil air wuduk untuk melaksanakan shalat, bisa saja dengan gampang dan mudah ‘korupsi’ air wuduk. Atau, seorang ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk berbuka dapat melahap “kolak pisang” yang begitu menggoda dan menggiurkan. Tapi kenapa tak seorang pun berani melakukannya?! Karena Allah hadir dan mengawasinya. Bukankah puasa itu hanya ‘milik Allah’ dan hanya dia yang ‘mengganjarnya’? Ini dengan gamblang Dia proklamirkan dalam sebuah hadits Qudsi, “Seluruh amalan anak Adam (manusia) untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. ” (HR Bukhari).
Amalan (ibadah) yang sangat sulit ditembus oleh setan adalah “puasa”. Sehingga, yang mengetahui hakikat puasa itu hanya Allah dan si pelaku. Jika puasa itu milik Allah, seyogyanya orang yang berpuasa merasa muraqah Allah itu senantiasa menyertainya. Agar Allah benar-benar melihat dan mengganjar puasanya dengan sempurna. Jika mental muraqah ini tidak pernah dimunculkan, niscaya puasa pun dilakukan hanya sekedar “menggugurkan kewajiban”, tidak lebih.
Ketiga, mental ‘sabar’ berkata baik dan bertindak benar. Semua orang yang berpuasa merasakan bahwa Ramadhan itu seperti “rem pakem” kata-kata dan tindakan. Di bulan ini, orang tidak akan sembarangan alias asbun (asal bunyi) dalam berkata-kata. Semuanya benar-benar diperhitungkan. Dan ini salah satu sisi mental yang dibangun oleh puasa itu. Hal ini dijelaskan oleh Kanjeng Nabi SAW dalam sabdanya, “Sesungguhnya puasa itu bukan sekedar “tidak makan dan tidak minum” saja. Puasa itu adalah menahan mulut dan tindakan dari hal yang sia-sia dan keji. ” (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim). Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga menyatakan, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkatan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak peduli dia tidak makan dan tidak minum. ” (HR Bukhari). Artinya, orang yang biasa berkata dusta ketika berpuasa, maka Allah tidak butuh kepada puasanya. Maka, puasanya menjadi sia-sia dan tak memberikan faedah apapun. Yang dipetik dari puasa seperti ini adalah apa yang diutarakan Rasul SAW, “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. ” (HR Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Keempat, mental ‘aji mumpung’. Bulan ini benar-benar bulan obral pahala. Maka sangat merugilah orang yang tidak menyadarinya. Yang harus dibangun di bulan yang penuh rahmat, maghfirah dan itqun min al-nar ini adalah “mental aji mumpung”. Ini lah kesempatan dan peluang emas yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Bayangkan, satu kebaikan dilipatkan-gandakan menjadi 70-700 kali lipat. Siapa yang tidak tergiur? Namun, bukan berarti mental ini menjadi mental apportunist.
Bayangkan, para hari kiamat nanti, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dari bau minya misik (kesturi) yang ada didunia ini. “Demi jiwa Muhammad yang ada dalam genggamannya! Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat daripada minyak misik. ” (HR Muslim).
Itulah beberapa mental yang coba ditumbuhkan dan dibangun oleh Ramadhan yang mulia ini. Semoga Ramadhan kali ini benar-benar dapat kita “raup” nilai-nilainya. Mari kita tanamkan dalam hati bahwa Ramadhan kali ini harus benar-benar menjadi ‘kolam ampunan dosa’. Karena sangat ini orang yang ditemui oleh Ramadhan, namun ketika Ramadhan itu kembali menghadap Tuhannya, dosa-dosanya belum diampuni. “Betapa hina seseorang jika Ramadhan datang, kemudian ia pergi, sedangkan ia belum diberi ampunan. ” (HR Al-Tirmidzi). Wallahu a‘lamu bi al-shawab.

HIKMAH PUASA

Marhaban ya RamadhanRamadhan adalah bulan disyari'atkannya puasa, yang merupakan salah satu dari rukun Islam, sebagaimana firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atasa orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa" [al-Baqarah:183]Puasa telah dilaksanakan sejak lama sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu puasa. Dalam sejarah agama-agama besar, puasa sudah tidak asing lagi.Universalitas puasa bisa dimengerti karena esensi dari puasa itu sendiri bukannya "mengerjakan" melainkan "menahan diri", yakni menahan diri dari makan dan minum, tidak melakukan seksualitas di siang hari serta menghindari sikap hewani yang merusak. Dianjurkan pula ibadah pada malam harinya untuk beribadah (qiyamullail). Karena sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia, sumber segala rahmat dan kebaikan. Allah memberi keberkahan dan maghfirah. Para Malaikat turun untuk ikut memanjatkan do'a dan pujian agar manusia memperoleh ampunan. Semua pintu kebaikan dibuka lebar-lebar serta semua setan "dibelenggu." Rasulullah mengkhususkan bulan ini sebagai bulan untuk beribadah melampaui bulan-bulan lainnya. Demikian juga para sahabat, mereka saling bergegas dalam amal-amal kebaikan semata-mata mengharap ridha Allah SWT.Hikmah RamadhanSelain posisi istimewa di sisi Allah SWT yang diperoleh oleh seorang mukmin yang berpuasa, hikmah dari puasa juga teramat besar. Baik hikmah rohani maupun jasmani, baik terhadap diri pribadi maupun kepada masyarakat luas.Ramadhan juga sebagai syahrul ibadah (bulan ibadah) dimana terdapat nilai ibadah yang tinggi serta semangat beribadah yang tinggi. Selain itu juga sebagai "Syahrul Fath" (bulan kemenangan). Umat Islam memperoleh kemenangan dalam "perang kecil", perang Badar. Bisa dikatakan juga sebagai "Syahrul Huda" (bulan petunjuk) karena pada bulan Ramadhanlah turunnya petunjuk kehidupan yaitu al-Quran pada pertama kalinya. Selain itu bulan Ramadhan juga disebut sebagai "Syahrul Ghufran" (bulan penuh ampunan). Pada bulan ini, dimudahkan pintu pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Sebagai "Syahrus Salam" (bulan keselamatan), bulan Ramadhan adalah bulan yang mengandung nilai-nilai edukatif yang dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian bagi umat manusia. Dan yang terakhir adalah sebagai "Syahrul Jihad" (bulan perjuangan). Pada bulan ini, manusia dihadapkan pada perjuangan yang amat besar. Mereka menahan diri dari perbuatan yang biasa diperbuat, selain menahan diri dari "ritualitas" makan dan minum sebagai kebutuhan primer sejak fajar sampai terbenamnya matahari. Dan kalau sudah berbuka, dianjurkan untuk menahan diri dari makan dan minum yang berlebihan bahkan dianjurkan untuk membatasinya. Upaya ini merupakan cara untuk memelihara kesehatan jasmani. Bukankah masalah perut (makan dan minum) juga pemicu timbulnya penyakit jiwa? Begitulah kira-kira apa yang dikatakan para sufi.Kalau penyakit "rakus dan tamak" menimpa seseorang, akibat dan bahayanya bukan hanya terbatas pada lingkungan kecil tetapi lambat laun akan merambat dalam kehidupan berbangsa sehingga akan menimbulkan semangat kapitalisme yang kemudian bersifat ekspansif, yaitu mengeksploitasi milik orang lain akibat sifat serakahnya tersebut. Sehingga benar apa yang disinyalir Imam Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin-nya bahwa bencana paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut.Kalau kita melaksanakan puasa, kita akan mengadaptasi diri kita dengan mereka yang berekonomi lemah yang sering merasakan haus dan lapar, sehingga akan timbul rasa kasih sayang dan ketajaman rasa sosial yang akan menjadi pengalaman rohani tersendiri. Mungkinkah kasih sayang tidak tumbuh ketika pemandangan itu terjadi di depan mata kita?Dalam batas yang paling rendah; setidak-tidaknya kehausan dan kelaparan yang diakibatkan puasa tersebut akan mengingatkan kita pada kaum fakir miskin sehingga termanifestasi dengan sedekah yang banyak sebagai tindakan konkrit dari rasa solidaritas sosial yang nantinya akan menjembatani antara the have dan the have not yang pada titik akhirnya akan tercipta sumber daya manusia yang mempunyai etika dan kepekaan sosial yang tinggi.Masih banyak hikmah-hikmah lain yang bisa kita petik intisarinya dari pelaksanaan puasa. Semoga bukan hanya sekedar idealisme belaka, melainkan sebuah realitas sepanjang masa setelah menjalani Ramadhan.Semoga saja kita dapat menjadikan Ramadhan sebagai wadah penggemblengan mental sehingga tercipta kontrol diri yang baik yang akan meluas dampaknya ke masyarakat sehingga puasa bukan hanya memperoleh lapar dan haus saja, agar kita tidak tergolong orang-orang yang disinyalir Nabi SAW:"Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus."Tapi kita berharap dengan puasa disamping hikmah yang dikandungya, yang paling penting adalah semua semata-mata pengabdian kita kepada Allah SWT.Semoga ibadah kita diterima Allah SWT. Amien.

SILATURRAHIM SUNNAH YANG TAK DIMINATI

“Nantang ya!!” Gedebug! Terdengar benda terbanting keras diiringi teriakan gaduh dan panik. Erangan sakit dan minta tolong mewarnai. Oh, ternyata Fulan A sama Fulan B lagi adu jotos, soal bola, padahal mereka kakak adik. Sekilas terdengar makian dan sumpah serapah dari dua mulut yang masih sedarah, diiringi saling mengancam. “Ngga punya adik kaya kamu juga nggak papa! Bla…Bla…”

Sejak itu hubungan mereka putus total. Jangankan menyapa, bertemu pun saling melengos, padahal mereka tinggal bersebelahan. Jauhnya jarak hati mereka, melebihi jarak Jakarta-Surabaya. Hubungan darah tak lagi bermakna apa- apa.

Sesama saudara bertengkar soal warisan dan yang lain karena susunan caleg, bentrok antar paman dan keponakan gara- gara pilihan kepala desa, dua individu yang saling bermasalah dari soal salah omongan, soal finansial, hutang piutang, sampai soal iri hati, sentimen pribadi dan masalah sepele lainnya bisa memicu putusnya silaturrahim.

Kenapa Terjadi?

Jauhnya kita dari agama, dangkalnya kita akan pengetahuan tentangnya adalah salah satu faktor pemicu putusnya silaturrahim.

Mungkin banyak dari kita menganggap remeh silaturrahim. Padahal dalam silaturrahim terkandung makna yang besar dan mendalam, bahkan silaturrahim adalah salah satu akhlak islami yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Betul, menjaga hubungan tidak hanya ditujukan bagi saudara sedarah (senasab) tapi juga saudara seiman. Allahl memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan orang tua, saudara, kaum kerabat, dan orang-orang mu‘min yang lain. Namun dalam hubungan silaturrahim yang dituju adalah sanak famili yang masih ada hubungan darah (senasab). Karena merekalah yang hakikatnya lebih dekat hubungannya dengan kita.

Begitu juga apabila kita meminta bantuan maka yang lebih layak kita minta adalah sanak famili kita, baru kemudian orang lain. Karena mereka dan kita sama-sama punya hak dan kewajiban untuk saling tolong.

Peliharalah tali silaturrahim, maksudnya peliharalah hubungan kekeluargaan kamu. Jangan sampai kita lupa dengan nasab kita, orang tua kita, saudara-saudara kita dan kerabat-kerabat kita. Setelah itu peliharalah hubungan kasih sayang dengan orang-orang mukmin sebagaimana dengan saudara sendiri.

Anjuran menjalin Silaturrahim adalah anjuran untuk tidak melupakan nasab dan hubungan kekerabatan. Satu-satunya bangsa yang paling hebat dalam menjalankan silaturrahim adalah bangsa Arab. Mengapa? Karena mereka tidak lupa nenek moyang mereka. Makanya mereka selalu mengaitkan nama mereka dengan bapak, dan kakek-kakek mereka ke atas. Oleh karena itu dalam nama mereka pasti ada istilah bin atau ibnu yang artinya anak.

Lalu bagaimana dengan bangsa-bangsa lain dan bangsa kita yang kebanyakan mengetahui hanya sampai kakek dan buyut (bahkan tidak sampai). Akibat pengetahuan nasab yang terbatas ini maka efeknya sangat memprihatinkan. Diantaranya tidak mengetahui saudaranya yang jauh, menganggap bahwa dirinya tidak punya saudara, tidak mendapat bantuan dan pertolongan bila dirinya mengalami kesengsaraan, tidak punya tempat untuk mengadu dan meminta pertolongan kecuali orang lain. Ujung-ujungnya timbullah kemiskinan, anak gelandangan, dan lain sebagainya. Padahal seandainya mereka mengetahui nasab mereka siapa tahu bahwa direktur perusahaan disamping gubuknya adalah saudaranya dari buyut kakeknya.

Inilah salah satu hikmah perintah bersilaturrahim. Bersilaturrahim atau menjalin hubungan kasih sayang yang kuat diantara saudara dan keluarga pihak kakek dan nenek ke atas. Kalau bisa kita menghafalnya sebagaimana bangsa Arab menghafal nasab-nasab mereka baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu.

Allah dalam al-Qur‘an secara spesifik memerintahkan umat Islam untuk menjalin silaturrahim,

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (an-Nisa‘:1)

Individualisme dan Gaya Hidup

Sikap individualisme yang tinggi, perlahan namun pasti telah membunuh benih silaturrahim. Ego yang tinggi, rasa tak butuh dengan orang lain, merasa telah mampu mencukupi kebutuhan diri, dan merebaknya gaya hidup metropolis, menjadi formula yang manjur bagi lunturnya silaturrahim.

Lihatlah kehidupan di kota-kota besar, keluarga banyak yang kehilangan ruh silaturrahim meski tinggal seatap. Bagaimana tidak? Gaya hidup metropolis telah mengubah mereka menjadi robot- robot bernyawa. Waktu tersita di luar rumah dan di tempat kerja. Orang tua tak lagi punya waktu memberi perhatian dan kasih sayang pada buah hati. Untuk sekedar mengucapkan selamat tidur atau bersama sarapan pagi adalah moment yang telah sulit dijumpai. Senyum pun sekedar basa basi.

Ya, kesibukan telah menyita waktu. Untuk sekadar berkomunikasi dengan anggota keluarga saja sulit, apalagi dengan orang di lingkungan sekitar rumah atau tetangga. Bagaimana dengan Anda?

Jangan Putuskan Silaturrahim

Memutuskan silaturrahim antar sesama keluarga adalah salah satu langkah setan. Apalagi memutus hubungan tanpa ada sebab syar’i, misalnya karena perselisihan finansial atau sebab lemah lainnya. Apabila bersua, ia berpaling, tersenyumpun ogah. Inilah salah satu di antara yang menyebabkan masyarakat Islam melemah.

Menyambung hubungan kekerabatan adalah wajib sedangkan memutuskannya merupakan dosa besar. Dari Jubair bin Muth’im bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan persaudaraan (Muttafaq ‘Alaih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu “ Tidak boleh orang Islam memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari…” ( Riwayat Abu Dawud)

Jalin Silaturrahim dengan Sehat

Yang dimaksud silaturrahim sehat adalah dalam silaturrahim tersebut terpenuhi syarat-syarat syar’i. Kita tidak (silaturrahim asal-asalan) kalau hanya untuk tujuan yang membawa mudharat. Misalnya hanya untuk menggunjing keburukan orang lain, serta tujuan tak jelas lainnya.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 12)

Silaturrahim akan melemahkan perasaan marah, membunuh rasa benci, permusuhan dan sifat-sifat dzalim. Hingga akhirnya akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan kepedulian pada sesama keluarga dalam kebaikan. Subhanallah.


Banyak Nilai Indah dalam Silaturrahim

Jika silaturrahim adalah pohon, maka ia adalah pohon yang banyak buahnya. Dari silaturrahim ada banyak buah atau nilai indah yang bisa kita petik.

Selain sebagai sarana interaksi sosial, silaturrahim juga ‘membuka’ jalan dakwah dalam amar ma’ruf nahi munkar, dan wujud keluwesan pribadi dalam bergaul dengan keluarga.

Raihlah pahala dan ridha Allah ta’ala lewat silaturrahim.

Jadi tunggu apalagi? Jangan membuat diri Anda rugi karena memutus silaturrahim.

KEDUDUKAN BID’AH DAN MAKSIAT DALAM AGAMA

Jauhnya kebanyakan manusia saat ini dari agama melahirkan banyak salah paham dan kekeliruan. Asingnya agama membuat sesuatu yang berasal dari agama disangka bukan bagian agama. Sebaliknya, sesuatu yang bukan agama dikira bagian agama. Akibatnya lagi, pelaku bid’ah dianggap orang shalih. Dengan demikian, secara tak sadar, senantiasa selalu ada pemikiran bahwa bid’ah itu lebih baik daripada maksiat. Bagaimana sebenarnya hubungan, persamaan, dan perbedaan antara bid’ah dan maksiat?

Sama-Sama Tercela dan Menghancurkan Agama

Maksiat dan bid’ah sama-sama tercela dan dilarang dalam syari’at. Pelaku keduanya juga sama-sama mendapat dosa. Sebenarnya, bid’ah sendiri termasuk maksiat Dengan tinjauan ini, setiap bid’ah adalah maksiat, tapi tidak setiap maksiat adalah bid’ah.

Maksiat dan bid’ah sama-sama berkolaborasi untuk menghancurkan agama. Semakin banyak maksiat dan bid’ah maka semakin lemahlah sunnah. Sebaliknya, semakin kuat dan tersebarnya sunnah, semakin lemah pula maksiat dan bid’ah. Keduanya bertentangan dan bersebarangan dengan tujuan-tujuan syari’at yang berakibat fatal yaitu, menghancurkan syari’at. Jadi, dari sudut pandang ini, keduanya sama-sama menghempaskan petunjuk dan memadamkan cahaya kebenaran.

Bertingkat-Tingkat

Sebagaimana maksiat, bid’ah juga bertingkat-tingkat. Menurut kesepakatan ulama, maksiat itu terbagi dalam kemaksiatan yang bisa membuat pelakunya kafir, dan kemaksiatan yang sifatnya kaba’ir (dosa-dosa besar) dan shagha’ir (dosa-dosa kecil) begitu juga bid’ah terbagi menjadi bid’ah yang membuat pelakunya kafir, bid’ah yang sifatnya kaba’ir, bid’ah yang sifatnya shaga’ir.

Pembagian bid’ah besar dan bid’ah kecil harus dipahami dengan dasar perbandingan antara bid’ah itu sendiri. Namun jika dipandang bahwa bid’ah itu adalah dosa atau bagian dari kemaksiatan, maka sesungguhnya seluruh bid’ah, baik besar atau kecil, adalah termasuk dosa besar (al-kaba’ir).

Beda Sifat Dalil Pelarangannya

Walaupun bid’ah dan maksiat mempunyai persamaan, keduanya juga mempunyai perbedaan.

Dasar larangan maksiat biasanya berupa dalil-dalil yang khusus, baik teks Al-Quran , As-Sunnah, atau ijma’ atau qiyas. Berbeda dengan bid’ah, dasar larangannya biasanya berupa dalil-dalil yang umum dan tujuan-tujuan syari’at serta cakupan sabda Rasulullah bahwa setiap bid’ah itu sesat.

Mudahnya, jika kita biasa mendapatkan larangan, “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina…” maka tidak akan kita dapatkan larangan, “Janganlah kamu melakukan peringatan kematian 7 hari, 40 hari, dan seterusnya…” Tidak ada teks khusus dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang larangan terhadap bid’ah ini atau bid’ah itu. Larangan bid’ah adalah berdasar dalil umum semacam hadits, “Setiap perbuatan baru yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka.”

Beda Sikap Terhadap Syariat

Bid’ah itu menyerupai hal-hal yang disyari’atkan, karena bid’ah itu disandarkan dan dinisbatkan kepada agama. Berbeda dengan maksiat, ia bertentangan dengan hal yang disyariatkan, karena maksiat itu berada di luar agama, serta tidak dinisbatkan padanya, kecuali jika maksiat ini dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Jika suatu maksiat diniatkan sebagai taqarrub, maka maksiat ini menjadi bid’ah juga dalam waktu yang sama.

Bid’ah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan hukum Allah dalam membuat syariat. Alasannya, berbuat bid’ah berarti tidak meyakini kesempurnaan syari’at, menuduh syari’at masih kurang, belum sempurna, dan membutuhkan tambahan. Sedangkan pada perbuatan maksiat, tidak ada keyakinan bahwa syari’at belum sempurna. Bahkan pelaku maksiat meyakini dan mengakui bahwa ia melanggar dan menyalahi syariat.

Maksiat merupakan pelanggaran yang sangat besar ditinjau dari sisi melanggar batas-batas hukum Allah, karena pada dasarnya dalam jiwa pelaku maksiat tidak ada penghormatan terhadap Allah, terbukti dengan tidak tunduknya dia pada syari’at.

Berbeda dengan bid’ah. Sesungguhnya pelaku bid’ah menyangka bahwa dia dengan perbuatan bid’ahnya telah memuliakan Allah, mengagungkan syari’at dan agamanya. Ia meyakini bahwa ia dekat dengan Rabbnya dan melaksanakan perintahNya. Oleh sebab itu, ulama Salaf masih menerima riwayat hadits ahli bid’ah, dengan syarat ia tidak mengajak orang lain untuk melakukan bid’ah tersebut dan tidak menghalalkan berbohong. Sedangkan pelaku maksiat adalah fasik, gugur keadilannya, ditolak riwayat haditsnya dengan kesepakatan ulama.

Beda dalam Hal Taubat

Pelaku maksiat terkadang ingin taubat dan kembali ke jalan yang benar. Ini berbeda dengan ahli bid’ah. Ahli bid’ah meyakini bahwa amalan bid’ahya sebagai ibadah yang mendekatkan kepada Allah, sebagaimana firman Allah,

Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaan yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik…” (Faathir: 8)

Karena persangkaannya bahwa bid’ahnya itu adalah ibadah, maka ia sulit bertobat. Bagaimana bisa bertobat sedangkan ia sendiri mengira perbuatan jeleknya sebagai perbuatan baik? Maka, banyak para salaf yang berkata dengan inti bahwa taubat ahli bid’ah itu sulit diharapkan daripada taubat ahli maksiat.

Sufyan At-Tsauri berkata, Bid’ah itu lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena maksiat bisa ditaubati dan bid’ah tidak (diharapkan) tobat darinya.”

Sa’id bin Jubair pernah berkata, “Sungguh bila anakku berkawan dengan orang fasik dan tukang begal, tetapi ia pengikut sunnah adalah lebih kusukai daripada dia berkawan dengan orang yang tekun ibadah tapi ahli bid’ah.”

Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Iblis berkata, “Saya mencelakakan Bani Adam dengan dosa dan mereka membinasakanku dengan istighfar dan Laailaha illalah. Tatkala saya melihat itu, maka saya menebar hawa nafsu di antara mereka. Maka mereka berbuat dosa dan tidak bertobat, karena mereka beranggapan bahwa mereka berbuat baik.”

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (X/9) menjelaskan, “Arti ungkapan ‘bid’ah tidak akan ditaubati’ adalah bahwa orang yang melakukan bid’ah, mengambil agama yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya, dihiasi oleh keburukan amalnya dan dia menilainya sebagai kebaikan, sehingga dia tidak tobat darinya karena selalu melihat amalnya sebagai kebaikan. Sebab, awal tobat adalah mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah buruk dan harus ia tobati, atau dia meninggalkan kebaikan yang diperintahkan, baik yang wajib atau sunnah, lalu dia tobat dan melakukannya. Maka selama dia melihat perbuatannya baik, padahal semestinya buruk, maka dia tidak akan tobat darinya.

Tetapi, tobat orang yang melakukan bid’ah adalah mungkin dan dapat terjadi, yaitu bila Allah memberikan petunjuk dan bimbingan kepadanya, sehingga tampak jelas baginya kebenaran, sebagaimana Allah memberikan petunjuk kepada sebagian orang kafir, orang munafik, dan kelompok ahli bid’ah serta kesesatan dan lain-lain, dengan mengikuti kebenaran yang diketahuinya.”

Kadar Bahaya Bisa Berubah

Pada dasarnya, bahaya bid’ah lebih besar dari maksiat, karena fitnah ahli bid’ah terdapat dalam dasar agama, sedangkan fitnah pelaku dosa terdapat dalam syahwat. Ini merupakan sebuah kaidah dasar, jika tak ada tanda-tanda atau keadaan yang mengubah kondisi asal bid’ah atau maksiat itu.

Maksudnya adalah, bahaya pelanggaran –baik bid’ah atau maksiat- bisa membesar jika dilakukan terus-menerus, diremehkan bahayanya, dilakukan terang-terangan, dengan mengajak orang lain, sampai menghalalkan pelanggaran itu. Bahaya pelanggaran itu juga bisa mengecil jika misalnya dilakukan dengan sembunyi, tidak terus menerus, diikuti dengan penyesalan, dan berusaha taubat.

Juga, pelanggaran itu dengan sendirinya bisa membesar dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan.

Jika bahayanya mengancam dasar-dasar pokok agama, maka hal ini lebih besar daripada penyimpangan yang bahayanya hanya mengancam hal-hal parsial dalam agama. Begitu pula pelanggaran yang bahayanya berhubungan dengan agama lebih besar daripada pelanggaran yang bahayanya berhubungan dengna jiwa.

Jadi sebenarnya untuk mengkomparasikan antara bid’ah dengan maksiat, kita harus memperhatikan situasi dan kondisi, maslahat dan bahayanya, serta akibat yang ditimbulkan sesudahnya, karena memperingatkan bahaya bid’ah tidak seyogyanya menimbulkan sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan maksiat itu sendiri. Sebagaimana ketika kita memperingatkan bahwa maksiat tidak seyogyanya mengakibatkan sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan bid’ah itu sendiri.

Mata Terjaga, Hati Terpelihara

ISU pornografi dan pornoaksi masih terus bergulir. Majalah-majalah yang mengandung unsur pornografi dituntut untuk tak terbit lagi. Dukungan terhadap RUU Anti pornografi dan pornoaksi terus mengalir, menuntut untuk segera disahkan. Pornografi dan pornoaksi berhubungan erat dengan maksiat inderawi terutama penglihatan. Mata adalah indera yang pertama kali menangkap materi-materi pornografi dan pornoaksi. Mata adalah yang pertama kali melakukan kejahatan dengan melihat hal-hal yang diharamkan. Dari mata, setan akan melanjutkan tipu dayanya ke bagian tubuh yang lain, terutama kepada pengendali seluruh anggota badan, yaitu hati. Karena itu, menjaga pandangan adalah hal yang diperintahkan dalam Islam. Kesucian hati amat berhubungan dengan masalah menjaga pandangan. Allah memberikan predikat lebih suci bagi orang yang menjaga pandangannya. "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat" (An Nur: 30) Menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan Allah memberikan tiga manfaat yang besar dan mulia. Ketiga manfaat itu adalah manis dan lezatnya iman, cahaya hati dan kebenaran firasat, serta timbulnya kekuatan, keteguhan, dan keberanian hati. Manis dan Lezatnya Iman Orang yang menahan pandangannya dari yang diharamkan Allah maka hatinya akan diberikan kemanisan iman yang lebih baik daripada mendapatkan manisnya apa yang ia pandang. Hal ini termasuk dalam keumuman hadits Rasulullah, "Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari padanya."(Riwayat Ahmad) Mata adalah utusan hati. Dari pandangan timbullah hubungan antara hati dengan apa yang dilihat oleh mata. Hubungan itu akan menguat sehingga menjadi kerinduan yang menggelisahkan dan menyibukkan dirinya. Keadaan terakhir yang terburuk dari hati yang terkena panah pandangan ini adalah penyembahan terhadap cinta. Hati yang diuji dengan hal ini adalah hati yang kosong dari cinta kepada Allah . Sesungguhnya hati mesti bergantung kepada sesuatu yang dicintainya. Barang siapa yang tidak menjadikan Allah l semata sebagai yang dicintai, maka hatinya akan menyembah kepada selain-Nya. Betapa menyedihkan keadaan hati yang seperti ini. Maka orang yang diberi Allah petunjuk untuk mencegah pandangannya adalah orang yang beruntung sebab terhindar dari malapetaka ini. Hatinya tidak akan lagi resah dan gelisah, serta mendapatkan kenikmatan iman. Cahaya Hati dan Kebenaran Firasat Allah menyebutkan kisah kaum Luth, "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi para mutawassimin." (Al Hijr: 75) Ibnul Qayyim menulis dalam Ighatsatul Lahfan, "Mutawasssimin adalah para ahli firasat yang selamat dari pandangan yang diharamkan dan pandangan yang keji." Ibnul Qayyim juga menghubungkan antara perintah Allah untuk menjaga pandangan dalam surat An Nur dengan ayat setelahnya, "Allah (pemberi) cahaya langit dan bumi." (An Nur: 35) Berikut perkataannya, "Rahasia semua ini adalah bahwasanya balasan itu sesuai dengan jenis amal perbuatan. Maka barangsiapa yang menahan diri dari memandang yang diharamkan Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang sejenis, yang lebih baik daripadanya. Sebagaimana ia menahan cahaya pandangannya dari hal-hal yang diharammkan, maka Allah membuat cemerlang cahaya pandangan dan hatinya, sehingga dengannya ia melihat apa yang tidak bisa dilihat orang yang liar pandangannya dan tidak menahan dari apa yang diharamkan oleh Allah ." Kekuatan, Keteguhan, dan Keberanian Hati Dalam sebuah atsar disebutkan, "Sesungguhnya orang yang menyelisihi hawa nafsunya, maka setan takut dan lari dari naungannya." Orang yang menjaga dirinya dari maksiat, maka Allah akan mengaruniakannya sebuah hati yang kuat, teguh, dan berani. Hati yang tak berhubungan dengan mata yang liar akan mendapatkan sifat-sifat mulia. Sebaliknya, orang yang mengikuti hawa nafsunya akan mempunyai jiwa yang hina, rendah, dan nista. Di dalam jiwa yang rendah ini bercokollah hati yang lemah. Allah hanya menjadikan kemuliaan pada orang yang menaati-Nya dan kehinaan kepada orang yang mengingkari-Nya. Allah befirman, yang artinya: "Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman." (Ali Imran: 139) Siapa yang mencari kemaksiatan bagi hatinya, maka Allah akan enggan, kecuali Allah jadikan hina orang yang mendurhakai-Nya. Allah akan mengasihi orang yang taat kepada-Nya. Sedangkan orang yang Dia kasihi tidak akan Dia hinakan, sebagaimana tersebut dalam doa qunut, "Sesungguhnya tidaklah hina orang yang Engkau kasihi dan tidaklah mulia orang yang Engkau musuhi." (Riwayat Abu Daud, An-Nasa'I, shahih) Karena mata adalah utusan hati, maka besarlah pengaruh mata terhadap kesehatan hati. Manfaat penjagaan pandangan sangat berkaitan erat dan langsung berhubungan dengan hati. Mata yang terjaga akan menghasilkan hati yang bebas dari kegelisahan rindu. Mata yang terjaga akan menimbulkan cahaya dalam hati. Dengan mata yang terjaga pula, akan didapat hati yang kuat, teguh, dan berani. Maka, peliharalah pandangan, Allah l akan memelihara hati kita.

MEWUJUDKAN KHUSYU’ DALAM SHALAT

Khusyu’ tentu merupakan sesuatu yang dicari-cari oleh orang yang mendirikan salat yang ingin mendapatkan keridhaan sesembahannya.

Khusyu’ adalah ketentraman, ketenangan, perasaan takut, kesejahteraan, dan juga tawadhu’. Lebih singkatnya, khusyu’ adalah merasa takut terhadap Allah dan selalu memperhatikan segala apa yang diperintahkan-Nya. Ada juga yang mengatakan, khusyu’ adalah berdirinya hati di hadapan Rabb dengan penuh ketundukan dan perasaan hina dina.

Tempat khusyu’ adalah di dalam hati. Namun, khusyu’ juga memberikan dampak terhadap jasmani. Sebab, anggota tubuh akan mengikuti hati. Jika hati khusyu’ anggota badan pun akan tenang dan tentram. Jika khusyu’ rusak, rusak pulalah ibadah yang dilakukan oleh anggota badan seseorang.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa khusyu’ adalah sesuatu yang diwajibkan. Allah berfirman, yang artinya,

“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”.(Al-Baqarah:45)

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ayat di atas menunjukkan ancaman terhadap orang-orang yang tidak khusyu’. Dan ancaman itu, tidak akan terjadi kecuali terhadap orang-orang yang meninggalkan sebuah kewajiban, atau mengerjakan sesuatu yang haram. Dengan demikian, jika orang-orang yang tidak khusyu’ itu diancam, artinya khusyu’ adalah wajib hukumnya.

Oleh karena itu, mengusahakan sebab-sebab khusyu’ merupakan sebuah keharusan. Secara garis besar, sebab-sebab yang menjadikan seseorang khusyu’ terbagi dalam dua hal, yaitu, pertama, mendatangkan segala sesuatu yang dapat mewujudkan kekhusyukan di dalam salat kemudian memperkuatnya, kedua, membendung segala sesuatu yang dapat menghapus dan menghilangkan kekhusyukan tersebut.

Berikut ini, sebab-sebab khusyu’ kategori pertama yang terpenting:

Mempersiapkan Diri untuk Salat

Persiapan untuk salat ini dilakukan sejak muadzin mengumandangkan adzan, yaitu dengan menjawab kalimat-kalimat adzan. Setelah itu berdoa dengan doa setelah adzan yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adalah baik untuk berwudhu dari rumah daripada berwudhu di masjid. Maka, wudhulah dengan tata cara yang disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bacalah doa setelah wudhu. Termasuk dalam membersihkan diri adalah bersiwak serta mengharumkan mulut di mana nanti lisan merupakan jalan dilantunkannya Al-Quran.

Mengenakan pakaian yang baik merupakan hal yang diperintahkan oleh Allah dalam firmannya surah Al-A’raf ayat 31. Juga, jangan pula memancing ketidakhusyukan jamaah lain dengan mengenakan pakaian yang bergambar pada bagian belakangnya.

Setelah itu, berjalanlah menuju masjid dengan penuh ketenangan, ketundukan, penuh khidmat seraya berdzikir dengan dzikir saat berjalan ke masjid yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika masih ada waktu, hendaklah shalat 2 rakaat dulu sebelum duduk di masjid. Kalaupun ada waktu lagi, berdoalah sebelum iqamat dikumandangkan karena waktu di antara adzan dan iqamat merupakan salah satu waktu bagi terijabahinya doa.

Saat iqamat berkumandang, maka tak ada lagi ibadah yang terpenting kecuali menegakkan salat itu sendiri. Maka luruskanlah dan rapatkanlah shaf karena hal itu merupakan unsur kesempurnaan salat serta jalan untuk mencegah masuknya setan pengganggu salat.

Bersikap Tenang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu thuma’ninah (bersikap tenang) dalam melakukan salat hingga setiap tulang belulangnya kembali ke tempat semula. Orang yang tidak menyempurnakan bagian-bagian salatnya, seperti rukuk dan sujud, dijuluki sebagai orang yang mencuri sebagian salatnya.

Rasulullah juga mengomentari orang yang tidak sempurna sikap tenangnya dalam melakukan gerakan-gerakan salat ini, “Perumpamaan orang yang tidak sempurna rukuknya dan mematuk dalam sujudnya adalah seperti seorang yang sedang kelaparan yang makan sebuah kurma dan dua buah kurma, di mana keduanya tidak ada manfaatnya sama sekali terhadapnya.” (Riwayat Ath-Thabarani, hasan)

Orang yang tidak thuma’ninah ketika shalat tidak mungkin melakukan shalatnya dengan khusyu’. Sebab, melakukan shalat dengan cepat-cepat dapat menghilangkan kekhusyukan. Sedangkan melakukan shalat seperti seekor burung yang mematuk akan dapat menghilangkan pahala daripada salat itu sendiri.

Mengingat Mati dalam Salat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengisyaratkan tentang masalah ini, “Ingatlah kematian dalam salatmu. Karena sesungguhnya seseorang jika mengingat kematian di dalam salatnya, niscaya dia akan bermaksud untuk memperbaiki salatnya. Dan lakukanlah salat sebagaimana salat seseorang yang tidak pernah mengira bahwa dia akan dapat melakukan selain salat yang dilakukannya itu.” (Dinukil di As-Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, nomer 1421, Al-Hafidz Ibn Hijr menyatakan hadits ini sebagai hadits hasan)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasihat terhadap Abu Ayyub rahimahullah, “Jika engkau telah berdiri di dalam salatmu, maka lakukanlah salat sebagaimana salat seseorang yang akan meninggalkan.” (Riwayat Ahmad).

Maksud hadits di atas adalah melakukan salat sebagaimana orang yang salat sedangkan dia mengira bahwa dia tidak akan pernah dapat melakukannya kembali selain salat yang sedang dilakukannya itu. Jika seseorang yang salat itu berperasaan bahwa dia akan mati, sedangkan kematian itu pasti akan datang, dia juga berperasaan bahwa salatnya itu adalah salat yang paling akhir dilakukan, maka dia akan melakukannya dengan khusyu’, sebab dia tidak mengetahui mungkin salat itulah memang benar-benar salat yang paling akhir dia lakukan.

Tiga hal di atas merupakan hal awal yang merupakan sebab bagi terwujudnya kekhusyukan salat. Tentu, tidak terbatas sekedar hal-hal di atas, masih ada sebab-sebab bagi terwujudnya kekhusyukan salat, baik termasuk kategori pertama maupun yang kedua.