Rabu, 19 September 2007

MEWUJUDKAN KHUSYU’ DALAM SHALAT

Khusyu’ tentu merupakan sesuatu yang dicari-cari oleh orang yang mendirikan salat yang ingin mendapatkan keridhaan sesembahannya.

Khusyu’ adalah ketentraman, ketenangan, perasaan takut, kesejahteraan, dan juga tawadhu’. Lebih singkatnya, khusyu’ adalah merasa takut terhadap Allah dan selalu memperhatikan segala apa yang diperintahkan-Nya. Ada juga yang mengatakan, khusyu’ adalah berdirinya hati di hadapan Rabb dengan penuh ketundukan dan perasaan hina dina.

Tempat khusyu’ adalah di dalam hati. Namun, khusyu’ juga memberikan dampak terhadap jasmani. Sebab, anggota tubuh akan mengikuti hati. Jika hati khusyu’ anggota badan pun akan tenang dan tentram. Jika khusyu’ rusak, rusak pulalah ibadah yang dilakukan oleh anggota badan seseorang.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa khusyu’ adalah sesuatu yang diwajibkan. Allah berfirman, yang artinya,

“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”.(Al-Baqarah:45)

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ayat di atas menunjukkan ancaman terhadap orang-orang yang tidak khusyu’. Dan ancaman itu, tidak akan terjadi kecuali terhadap orang-orang yang meninggalkan sebuah kewajiban, atau mengerjakan sesuatu yang haram. Dengan demikian, jika orang-orang yang tidak khusyu’ itu diancam, artinya khusyu’ adalah wajib hukumnya.

Oleh karena itu, mengusahakan sebab-sebab khusyu’ merupakan sebuah keharusan. Secara garis besar, sebab-sebab yang menjadikan seseorang khusyu’ terbagi dalam dua hal, yaitu, pertama, mendatangkan segala sesuatu yang dapat mewujudkan kekhusyukan di dalam salat kemudian memperkuatnya, kedua, membendung segala sesuatu yang dapat menghapus dan menghilangkan kekhusyukan tersebut.

Berikut ini, sebab-sebab khusyu’ kategori pertama yang terpenting:

Mempersiapkan Diri untuk Salat

Persiapan untuk salat ini dilakukan sejak muadzin mengumandangkan adzan, yaitu dengan menjawab kalimat-kalimat adzan. Setelah itu berdoa dengan doa setelah adzan yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adalah baik untuk berwudhu dari rumah daripada berwudhu di masjid. Maka, wudhulah dengan tata cara yang disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bacalah doa setelah wudhu. Termasuk dalam membersihkan diri adalah bersiwak serta mengharumkan mulut di mana nanti lisan merupakan jalan dilantunkannya Al-Quran.

Mengenakan pakaian yang baik merupakan hal yang diperintahkan oleh Allah dalam firmannya surah Al-A’raf ayat 31. Juga, jangan pula memancing ketidakhusyukan jamaah lain dengan mengenakan pakaian yang bergambar pada bagian belakangnya.

Setelah itu, berjalanlah menuju masjid dengan penuh ketenangan, ketundukan, penuh khidmat seraya berdzikir dengan dzikir saat berjalan ke masjid yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika masih ada waktu, hendaklah shalat 2 rakaat dulu sebelum duduk di masjid. Kalaupun ada waktu lagi, berdoalah sebelum iqamat dikumandangkan karena waktu di antara adzan dan iqamat merupakan salah satu waktu bagi terijabahinya doa.

Saat iqamat berkumandang, maka tak ada lagi ibadah yang terpenting kecuali menegakkan salat itu sendiri. Maka luruskanlah dan rapatkanlah shaf karena hal itu merupakan unsur kesempurnaan salat serta jalan untuk mencegah masuknya setan pengganggu salat.

Bersikap Tenang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu thuma’ninah (bersikap tenang) dalam melakukan salat hingga setiap tulang belulangnya kembali ke tempat semula. Orang yang tidak menyempurnakan bagian-bagian salatnya, seperti rukuk dan sujud, dijuluki sebagai orang yang mencuri sebagian salatnya.

Rasulullah juga mengomentari orang yang tidak sempurna sikap tenangnya dalam melakukan gerakan-gerakan salat ini, “Perumpamaan orang yang tidak sempurna rukuknya dan mematuk dalam sujudnya adalah seperti seorang yang sedang kelaparan yang makan sebuah kurma dan dua buah kurma, di mana keduanya tidak ada manfaatnya sama sekali terhadapnya.” (Riwayat Ath-Thabarani, hasan)

Orang yang tidak thuma’ninah ketika shalat tidak mungkin melakukan shalatnya dengan khusyu’. Sebab, melakukan shalat dengan cepat-cepat dapat menghilangkan kekhusyukan. Sedangkan melakukan shalat seperti seekor burung yang mematuk akan dapat menghilangkan pahala daripada salat itu sendiri.

Mengingat Mati dalam Salat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengisyaratkan tentang masalah ini, “Ingatlah kematian dalam salatmu. Karena sesungguhnya seseorang jika mengingat kematian di dalam salatnya, niscaya dia akan bermaksud untuk memperbaiki salatnya. Dan lakukanlah salat sebagaimana salat seseorang yang tidak pernah mengira bahwa dia akan dapat melakukan selain salat yang dilakukannya itu.” (Dinukil di As-Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, nomer 1421, Al-Hafidz Ibn Hijr menyatakan hadits ini sebagai hadits hasan)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasihat terhadap Abu Ayyub rahimahullah, “Jika engkau telah berdiri di dalam salatmu, maka lakukanlah salat sebagaimana salat seseorang yang akan meninggalkan.” (Riwayat Ahmad).

Maksud hadits di atas adalah melakukan salat sebagaimana orang yang salat sedangkan dia mengira bahwa dia tidak akan pernah dapat melakukannya kembali selain salat yang sedang dilakukannya itu. Jika seseorang yang salat itu berperasaan bahwa dia akan mati, sedangkan kematian itu pasti akan datang, dia juga berperasaan bahwa salatnya itu adalah salat yang paling akhir dilakukan, maka dia akan melakukannya dengan khusyu’, sebab dia tidak mengetahui mungkin salat itulah memang benar-benar salat yang paling akhir dia lakukan.

Tiga hal di atas merupakan hal awal yang merupakan sebab bagi terwujudnya kekhusyukan salat. Tentu, tidak terbatas sekedar hal-hal di atas, masih ada sebab-sebab bagi terwujudnya kekhusyukan salat, baik termasuk kategori pertama maupun yang kedua.

0 komentar: